Dilema Dalam Kesempitan
Sudah 6 bulan
aku jalani profesi baruku, pekerjaan baruku. Tiap pagi aku berangkat jam 6 pagi
dan sampai kantor jam 7.45. Hampir 2 jam aku harus menempuh peralanan ke kantor
setiap hari. Lelah? Sudah pasti. Macet? Makanan sehari-hari-hari. Itu terjadi
baik berangkat maupun pulang kerja. Kadang aku menangis karena hampir tidak
kuat dalam perjalanan. Ya Allah maaf jika dalam hati aku terus mengeluh dengan
semua ini. Aku tahu aku harus pintar bersyukur dengan apa yang sudah aku
dapatkan ini. Daripada menjadi pengangguran bukan? I haven’t another choice.
Jujur aku
terpaksa menerima pekerjaan ini. Karena tuntutan tulang punggung keluarga mau
tidak mau aku harus menerimanya. Saat pertama kali mendapatkannya sudah
pasti senang. Namun seperti anak baru kemarin sore, aku tidak tahu apa yang ada
didalamnya nanti.
Setelah
beberapa bulan aku merasa bahwa fisikku sudah tak sanggup untuk melakukan
perjalanan sejauh dan selama ini. Apalagi macet yang mempengaruhi stress dalam
diriku. Ditambah masalah dikantor dan tekanan bos ini itu termasuk masalah
dengan rekan kerja.
Benar-benar
berbeda suasana kerjanya. Lebih rimba dari yang kukira. Setelah tahu beberapa
kebobrokan bos ku aku mulai gak nyaman kerja. Sebelumnya aku sudah merasa gak
nyaman karena atasanku mempermasalahkan jam solatku. Namun kini sudah menambah
lagi list masalah yang nanti akan datang.
Awalnya aku
mengira kalau atasanku suka dengan hasil kerjaku. Namun kebelakang aku jadi
merasa seperti menjadi senjata untuk menjatuhkan seseorang. Yang tidak lain
adalah partner kerjaku sendiri. Kamu tahu aku sangat merasa tidak enak sekali
dengan semua ini. Suasana kantor juga sepertinya sudah tidak kondusif. Aku
pandang langit dan berbicara padaMu ya Allah. “Kenapa ini terjadi lagi? Mengapa
orang-orang ditempat kerjaku malah memanfaatkan keahlianku, pengetahuanku, dan
cara kerjaku untuk menjadi senjata menjatuhkan orang lain?”
Haruskah aku
pura-pura bodoh?
Dan kini
tugasku ditambah untuk mengakali nilai pendapatan agar tidak kena pajak dan
kedepannya membuat laporan abal-abal agar mendapat bonus sebanyak-banyaknya
dari supplier. What the f*ck men!
Apakah orang
sepertiku terlalu naïf dengan semua ini? Apakah aku orang yang terlalu sok
suci?
Entahlah kamu
bisa sebut aku apapun yang kamu mau. Dalam pikiranku hanya ketidaktenangan
dalam hati. Karena sejak kecil Bapakku selalu mengajarkan kejujuran. Apalagi
dalam mencari rezeki. Aku sangat tidak ridho jika harus mendapat gaji dari hal
yang tidak seharusnya dilakukan. Aku mulai merasa bahwa managemen dalam
perusahaan ini memang gak bener. Mulai tidak adanya cuti, mecat orang seenaknya
dan gak diberi pesangon. Dan masih banyak penderitaan temen kerjaku yang lain
karena potongan insentif yang mungkin karena aturan perusahaan yang terlalu
dibuat-buat. Mungkin sekarang posisiku aman karena aku lebih dekat dengan
atasanku. Tapi bukan tidak mungkin suatu saat aku bisa bernasib sama seperti
mereka.
Ingin rasanya
aku resign dan mencari kerja ditempat yang deket dari rumah dan bener
managemennya. Tapi jaman sekarang susah mendapatkannya. Aku juga sedang risau
dengan posisiku saat ini. Jika nekad resign maka aku jadi pengangguran lagi.
Dan itu sangat tidak enak banget. Berasa gak punya harga diri didepan
orang-orang.
Aku jadi dilema
dalam posisi ini. Ekonomi keluarga juga dipertaruhkan disini. Rasanya kepalaku
mau pecah. Kadang dalam kesendirian aku menangis tanpa seorangpun yang tahu.
Inikah menjadi tulang punggung keluarga?
Pikiranku
bercabang-cabang. Mulai dari masalah kerjaan, dan masalah yang ada di rumah
juga cukup membuat setres dan penuh isi kepalaku. Ya Allah…. Tunjukkanlah
jalanmu dalam kesempitanku ini. Amiin…
Comments
Post a Comment